Sabtu, 25 Agustus 2018

THERE'S SOMETHING (FLASH FICTION)





There's Something

“Kamu akan terus seperti ini?”  Kia melirik tajam seseorang di sampingnya. Ia merasa bersalah melihat laki-laki di sampingnya tampak menyedihkan.

“Rey,” kali ini wanita berambut ikal sebahu itu meraih lengan laki-laki yang tengah menunduk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Sejak kedatangannya, Rey tak mengatakan apa pun. Laki-laki itu hanya mengempaskan bokongnya dan mendengus kasar. Kia memohon untuk bertemu, tetapi Rey tetap terdiam walau mereka sudah duduk hampir satu jam.

“Aku tidak berpikir untuk menyalahkannya, hanya saja …” Rey menengadahkan kepalanya menatap langit malam yang tampak lebih suram. Hembusan napas kasar ia keluarkan tanpa sadar. Kini ia mulai bersuara setelah membuat mereka berada dalam suasana kaku. “Aku tetap berpikir bahwa dia pergi karena aku.”

Kia mengigiti bibir bawahnya. Airmatanya nyaris menggenang. Kia menyadari nada suara Rey yang sumbang. Tenggorokan laki-laki itu tersendat. Kia yakin Rey datang menemuinya dengan penuh keberanian. Laki-laki itu telah lama menangis.

“Tidak,” lirih Kia. Gadis itu semakin mengeratkan lingkaran tangannya di lengan Rey. “Kamu salah paham, Rey.”

Rey mulai berpaling. Laki-laki itu menatap wajah Kia dengan pandangan bertanya.

“Bukan, maksudku … barangkali aku yang salah paham. Aku salah paham dengan perasaan yang aku miliki untuk kamu.”

“Apa maksudmu?” Rey bertanya tanpa nada memaksa. Rey tidak mau peduli dengan alasan apa pun. Rey sudah tahu jawabannya, gadis itu pergi karena dirinya.

“Aku akan menceritakan kisah lama yang membuatnya tak mau bertemu kamu lagi. Kalau setelah ini kamu masih menyayanginya dan mau memaafkan, aku akan memberitahumu sekarang dia ada di mana.”

Rey tercengang, ia bahkan tidak bisa menutup mulutnya seperti orang bodoh. Gadis di sampingnya perlahan melepas genggaman tangannya. Kia bercerita sembari sesegukan. Kalimatnya terpotong-potong sehingga Rey harus lebih membuka lebar pendengarannya.

“Maafkan aku, Rey,” lirih Kia. Wajahnya sembab, matanya memerah. Rey hanya mendenguskan desah napas pendek.

“Aku tidak bermaksud menceritakan kebohongan tentang hubungan kita. Mulanya aku hanya ingin Tere menjauh dari kamu. Aku hanya ingin Tere membencimu hingga kamu bisa menjadi milikku. Tere tidak berniat meninggalkanmu, Rey. Ini salahku!” Kia menatap Rey dengan perasaan cemas. Sejak awal memang salahnya. Rey dan Tere terlalu serasi, Kia iri melihatnya. Semenjak Rey mencintai Tere, hubungan mereka tidak seindah dulu. Walau hanya sebagai sepasang sahabat semenjak kanak-kanak, Kia merasa bahagia meski harus memendam perasaan sukanya terhadap Rey yang tiba-tiba memuncak. Kia terpaksa mengambil langkah licik untuk memisahkan Rey dari Tere.

“Salahmu?” Rey balas memandang Kia dengan mata menggenang. Rey tak menyangka akan mendengar cerita konyol yang seharusnya Kia ceritakan setengah tahun yang lalu. Rey tidak menduga Kia akan tega membiarkannya hidup dalam banyak penyesalan beberapa bulan ini. Rey bahkan mengutuk wanita yang dicintainya saat wanita itu meninggalkannya dengan kejam. Wanita itu pergi bersama laki-laki lain lantas memandang rendah dirinya bahwa dirinya tidak pantas di samping Tere. Rupanya semua itu hanya drama belaka.

“Bukan salahmu,” Rey menatap Kia merasa kasihan, “Ini salahku, Ki. Salahku yang tidak bisa tegas dengan sikapku. Aku yang membuatmu salah paham karena perhatianku.”

Rey tidak mungkin memarahi wanita di sampingnya setelah wanita itu berani jujur tentang kebohongannya. Rey justru merasa bersalah. “Di mana dia sekarang?”
              
                       ***


*Tulisan ini diikutsertakan dalam Flash Fiction Competition Blog Kata Reffi

Kamis, 01 Desember 2016

BACK TO DECEMBER




Back To December


Desember, saat terakhir aku memandang kilat di matamu. Kala terakhir aku menatap canggung di wajahmu. Desember, ujung waktu kita bertemu. Desember dua tahun lalu. 

Ingat saat Desember tahun kemarin aku menulis cerita tentangmu. Tentang Desember dan rintik hujan yang selalu mengingatkanku padamu. Ah, pada kenangan kita. Aku selalu merindukannya sesekali. Meski terkadang aku merasa berdosa jika merindukannya. 

Dua tahun berlalu, dua tahun itu pula aku tak pernah tahu bagaimana rupamu. Bahkan mungkin aku nyaris melupakan wajah tampanmu. Desember tahun 2014 hari itu benar-benar waktu terakhir untuk kita bertatap muka. Tak selang berapa lama, aku mendapat kabar kamu akan ke pelaminan. Nyaris tak percaya, aku ikut senang.

"Kita harus bertemu lagi nanti."

"Tentu. Mungkin setelah aku menikah, dan kamu punya anak." Candaku

Dialog terakhir yang kita utarakan lewat pesan sms sebelum kamu berdiri berdampingan dengan calon istrimu. Hari itu aku tidak datang. Bukan karena merasa seperti ditinggal menikah oleh mantan pacar, hanya saja aku hanya sanggup tertawa saat mengetahui semuanya. Kita yang katanya memiliki perasaan serupa, kita yang katanya saling suka, kita yang katanya tak bisa bersatu walau saling mencinta. Benar saja, kamu melarikan diri ke pelaminan, sedangkan aku? Aku menunggu waktu untuk berlari menyusulmu. Maksudku, aku menikah dengan jodohku sendiri nanti. Aku berharap kamu sangat bahagia. Dan kamu layak bahagia dengan seseorang yang lebih baik dariku. 

Sejak saat itu kita sungguh kehilangan hubungan. Kamu bahagia menaiki bahtera rumah tangga. Aku? Aku menata hatiku untuk orang baru. Sialnya, hatiku kembali ambruk saat akan memuncaki keyakinan bahwa telah ada seseorang yang lebih baik menggantikanmu. Nyatanya, seseorang itu tidak lebih baik darimu. Aku justru membandingkan dia dengan kamu. Cara dia memahami perasaanku, cara dia menyatakan cinta padaku, cara dia pergi dariku. Haha, tak ada yang lebih baik saat hati dipatahkan. 

Kini, Desember datang lagi. Desember, hari-hari di mana aku mengenangmu lagi. Mengenang kebersamaan kita yang selalu membuatku tertawa saat mengingatnya. Konyol, satu kata yang terlintas saat kembali memikirkan tentang kita. Kita yang tak pernah menjadi "kita". 

Aku hanya sering mendengar kabarmu lewat angin yang mendesah. Terkadang ada yang berbisik bahwa di sana kamu ditempatkan dalam keluarga bahagia. Aku selalu gembira dan lega mendengarnya. Semoga selamanya. Doaku untukmu tak pernah berubah. Kamu mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya kamu dapatkan. Bahkan aku mendengar kini kamu telah memiliki seorang putra. Lengkap sudah kebahagiaanmu. Bahagiamu, bahagiaku, barangkali untuk saat-saat tertentu kalimat itu berlaku.

"Hey, apa kabar?"

Aku nyaris terlonjak saat namamu ada dalam daftar pesanku. Kamu masih mengingatku? Sudah dua tahun berlalu sejak Desember waktu itu.

"Baik. Bagaimana denganmu? Ah, yang sudah menjadi ayah, selamat!"

"Terima kasih. Kapan kamu menikah?"

Aku tertawa geli. Andai saja aku tahu jawabannya. 
"Doakan saja!" Pintaku 

"Tentu. Emm... aku rindu. Ketemu yuk!"

Mataku terbelalak. Bertemu? Jujur, aku pun rindu. Namun akan canggung rasanya memikirkan bila kita kembali bertatap muka. Apalagi jika melihat seringaian di wajahmu yang membuat para wanita terpesona. Akan gawat! Bukan mustahil perasaan yang lama telah terkubur akan bangkit kembali.

"Kamu berkunjung saja ke rumahku. Bawa serta anak dan istrimu. Aku ingin melihatnya. Kenalkan mereka padaku."

"Ah, repot kalau harus membawa anak. Kamu saja yang ke rumahku."

"Baiklah, kapan-kapan aku akan berkunjung."

Sebuah senyuman lebar mengakhiri dialog pesan kala itu. Aku tak mengira bila kamu masih mengingatku. Aku tak menduga kalau kamu akan menyapaku. Setelah sekian lama kita tak saling bertegur sapa atau semacamnya. Aku hanya berpikir hubungan kita memang sudah lama berakhir. Hubungan pertemanan ataupun sebuah hubungan yang pernah melibatkan perasaan.

Sebaliknya, kamu berani menegurku bahkan mengajak bertemu. Hey, aku sangat senang. Ternyata kamu masih dapat mengingatku. Kamu masih menganggapku seseorang yang pernah hadir dalam hidupmu, walau hanya sebagai sahabat. 

Baik-baik di kejauhan sana, Dear. Dapatkan kebahagiaan kamu yang pernah hilang. Aku senantiasa mendoakan dan mengenangmu di sini. Mengingatmu sebagai seseorang yang pernah memberi kenangan indah dalam hidupku. Di setiap hari yang terdaftar dari senin sampai minggu. Di setiap bulan yang berjejer dari Januari hingga Desember. I still remember you. Walau tahun akan berganti lagi dan lagi.  


                                                 ***




Jumat, 14 Oktober 2016

BAYANGMU DI KALBU !




BAYANGMU DI KALBU

Saat sayup menyeruak gendang telinga
Pedang elang menghunus merajam raga
Kala kilat pelangi menyambar tak berdaya
Tak elak sepercik rasa hadir menjelma

Aku tak sadar akan apa yang aku kerjakan
Menikmati buaian angin malam dengan bimbang
Terlena jam dinding yang terus berputar
Mengabaikan bintang yang menggantungkan sinar

Kupandangi langit-langit kamar
Di sana terlukis wajahmu tanpa samar
Aku termangu, berbicara pada kalbu
Mungkinkah ku jatuh hati padamu?

Ah, aku resah
Tak seharusnya rasa ini kujamah
Aku bersumpah,
Tiada pernah aku merasakan cinta merekah

Hingga aku menemukanmu
Bak melodi di antara ribuan nada
Tahukah? 
Musik bagi hatiku ialah kamu

Tiba saat kejora menghilang
Jemariku berlenggok mencoret tulisan
Jika saja kau bertanya kenapa aku
Aku seorang yang terusik bayangmu

Sayang, wujudku tak sejelas auramu
Aku hanya makhluk kosong yang tak berani menampakkan diri sebagai pemujamu!

Okt, 2016

Minggu, 02 Oktober 2016

SINOPSIS NOVEL "VIOLA" (karena bahagia adalah keharusan)



Judul: VIOLA
Penulis: Syarifatul Munawaroh
Penerbit: Story Club Media
Harga: Rp.59.000 (belum ongkir


Alhamdulillah... saya dapat menyelesaikan karya kedua saya dengan baik. Dan alhamdulillah dapat tersedia dalam bentuk cetak. Buku ini saya tulis dengan berbagai macam khayalan dan perasaan. Terima kasih untuk nama-nama tokoh yang tercantum, nama mereka saya ambil dari nama-nama orang yang saya kagumi. Terima kasih kepada kalian yang telah memberi saya semangat untuk menyelesaikan naskah ini.

Terima kasih kepada Story Club Media atas bantuan dan kerja kerasnya. Saya sangat menyukai covernya. Hehe terlebih cover belakang yang memperlihatkan bayangan 4 pria yang menjadi tokoh dalam cerita.

Saya sangat berterima kasih kepada semuanya yang sudah mendukung dan membaca karya saya. Semoga akan ada karya saya yang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya. :)


***

Sinopsis VIOLA:


Saat Viola ditinggal bunda dan kekasih tercinta, pria tengil bernama Alam yang menemaninya. Waktu Lily adiknya bersikeras ingin meninggalkan rumah, Alam jua yang meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Kehadiran Alam, sahabat semenjak kecilnya itu ternyata begitu sangat berarti di saat Viola merasa kehilangan. Sayangnya, kehadiran Lucaz yang bernasib sama seperti dirinya membuatnya bimbang. Lucaz meminta untuk bersama meraih kebahagiaan mereka yang telah hilang. Di saat yang sama, Harrimand, mantan kekasihnya, menambah besar beban dilemanya ketika lelaki itu menawarkan cinta kembali kepadanya. Viola bingung, siapakah yang harus dipilihnya? Dalam kebingungan akan perasaannya, kakak tampan pemilik kedai seberang kios bunganya berkata, 'cinta bukanlah pilihan, melainkan keputusan'. Dan pada akhirnya Viola pun berani memutuskan siapa yang akan menemani sisa hidupnya dengan penuh kebahagiaan.
.
.
.
Minat? Inbox via Fb Story Club or fb Syarifatul Munawaroh or via WA 087742496393
.
.
Batas PO 9 oktober 2016

Sabtu, 06 Agustus 2016

I can't stop loving you!




I can't stop loving you!

Bilapun hati ini sunyi
Aku tak akan bersembunyi
Andaipun raga ini sendiri
Aku tetap akan berdiri

Layaknya purnama yang menggiring fajar
Ia tak ragu melewati  gelap malam
Seperti gulungan awan kala siang
Ia tak pantang memunggungi sinar

Bukan maksudku untuk bertahan
Atau gila akan perhatian
Hanya sekadar ingin menunjukkan
Hati ini bukan sekadar menginginkan

Bukan tentang rasa kagum terhadapmu
Bukan hanya karena menyukaimu
Melainkan, 
karena tak dapat berhenti mencintaimu

Yeah,
Cause i can't stop loving you!







Kamis, 26 Mei 2016

SENJA KEDUA (SENJAKU TAK PERNAH MENIPU)



Kata orang, keindahan senja itu menipu. Bagiku, senja tidak pernah mengelabui. Senja tetap sebuah keelokan semesta yang tidak dapat aku jabarkan bagaimana luar biasa warna jingganya terlukis di langit. Senja tetaplah senja, yang gambarannya menawan, yang pesonanya tak bisa diabaikan.

Aku kembali tersenyum mengamati langit sore. Sudah lama aku tidak memerhatikan senja dengan seksama. Semenjak hari di mana dia pergi membawa separuh hati, aku tidak ingin melihat senja lagi. Aku tidak mau menatap jingga saat lembayung tiba. Saat itu, setiap kali aku memandang langit barat kala petang, rasa sakit menyerang. Aku marah, bagaimana bisa senja membuatku tak berdaya? Namun tidak dengan hari ini, aku merindukannya. Merindukan detik-detik senja memancarkan aura. 

Aku sedang tidak membicarakan orang yang sama. Bukan dia, tapi dia. Dia, yang hadir kala senja menampakkan diri menggiring malam. Bukan dia, yang sudah tak ingin aku ingat sama sekali. Lantas, kenapa saat ini aku seolah menyangkut-pautkan dengan dia yang dulu? Tidak! Aku hanya tidak ingin orang-orang salah paham. Sampai kapan pun, aku tetap menyukai senja. Senja, waktu di mana semua rasa lelahku lenyap di sana. 

Entah sejak kapan aku terpesona. Entah sejak kapan aku mulai tertarik dan penasaran. Senja kembali menawarkan cintanya melalui adam yang berbeda. Aku harap, dia lebih baik, lebih menarik, dan lebih pantas untuk aku agungkan. Secercah harapan dalam hati kecilku hanya sesederhana demikian.

Tidak ada yang salah dari senja. Dia selalu memberiku banyak  harapan. Mungkin terlalu dini bila kini aku menyebutnya sebagai cinta. Namun tidak dapat dipungkuri, aku sungguh tergila-gila. Senja, apa mungkin aku kembali jatuh cinta?

Cinta? Rasanya aku hampir muak mendengarnya. Pasalnya, cinta seakan tak pernah berpihak kepadaku.  Berulang kali jatuh cinta, aku hanya mendapat jatuhnya saja, tanpa cinta. Dengan kata lain, aku seringkali merasakan sakit dalam menggapai cinta itu sendiri. Entahlah, mungkin ada yang salah pada diriku. Terkadang aku takut untuk jatuh cinta lagi. Aku khawatir, ‘cinta’ itu tak akan kudapat lagi. Namun orang bilang, cinta sejati akan tetap datang kepada orang yang masih percaya, sekalipun sering kecewa. Saat ini aku hanya meyakini bahwa cinta tidak akan selalu berakhir menyakitkan. Ada saatnya cinta menumbuhkan kebahagiaan.

Lembayung benderang terang menggambar langit, adalah saat-saat di mana jantungku berdebar dua kali lipat. Detik di mana darahku berdesir cepat. Kala petang menjelang, waktu senja menarik jingga, saat itulah dia muncul dengan kerlingan. Lagi-lagi aku menari di bawah cahaya jingga yang merona. Entah kenapa Tuhan selalu menghadirkan cinta untukku di kala senja. Aku hanya berpikir bahwa Tuhan ingin mengingatkanku bahwa keindahan senja memang nyata. Dia tidak pernah menipu!

"Bang! Bakwannya!"

Sungguh, awalnya aku berpikir ini gila. Orang-orang akan tertawa bila aku mengaku bahwa aku menyukai pria di depanku. Tapi sepertinya, hatiku tidak mau peduli. Tidak ada yang aneh padanya. Bahkan dia memiliki wajah yang rupawan. Aku benar-benar tidak ingin peduli siapa dirinya. Yang aku yakini, dia seorang yang pekerja keras. Bahkan dia tidak malu mendorong gerobak kayu setiap hari di sepanjang jalan raya. Aku mengaguminya, serius! Hingga aku tak mengapa bila seandainya Tuhan menjodohkanku dengannya. Aku akan sangat senang.

Namun, tunggu! Aku selalu terlihat bodoh di depannya. Deretan kata serta kalimat yang sudah aku persiapkan seringkali menguap begitu saja. Aku tidak berani menyapanya lebih dari sebatas pedagang dan pembeli. Aku harus meradang dalam hati setiap kali aku gagal melebur keingintahuanku tentangnya. Seolah debar jantungku mempermainkan diriku sendiri.

“Serius kamu suka sama dia?”

“Kenapa? Ada yang salah?”

“Open your eyes! Kamu beneran suka sama dia? Seorang …”

“Tukang bakwan keliling?”

Aku tersenyum simpul menyaksikan mimik wajah orang di sampingku. Temanku yang beberapa hari ini amat sangat bawel dalam mengomentari kehidupanku. Oh, tepatnya perasaanku. 

Dia benar, aku memang sedang menyukai seseorang. Tapi sepertinya kali ini agak berbeda. Kalau menurut temanku, aku salah melepas anak panah. Namun menurutku tidak ada yang salah. Aku tetap menyukai seorang manusia berspesies cowok. So? Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Itu kehendak hati.

“Please, kamu gak mungkin serius naksir sama tukang bakwan, kan?”

Lagi, temanku memasang tampang ngeri. Ekspresi wajahnya seperti baru melihat pocong lewat di depannya. Antara geli, takut, sama jijik. Hahaha, aku terbahak tak peduli. Dia terlalu cerewet. 

“Sepuluh rius! Sudah jangan bawel! Kalau kamu sudah lihat orangnya, pasti kamu juga naksir.”

“Aku? Naksir tukang bakwan? Jatuh harga diriku! Kayak gak ada cowok lain saja.”

Aku menggeleng tak acuh. Bagiku tetap tidak ada yang salah. Aku hanya sedang merasakan anugerah Tuhan melalui perasaan kagumku terhadapnya. Terkadang jatuh cinta memang membutakan segalanya, bukan? Toh pada akhirnya cinta akan kembali kepada kodrat sebenarnya, yaitu rasa. Bukan status ataupun harta.



Cinta,
Ketika hatimu berkata ada yang beda
Perasaan yang tak biasa, yang lebih istimewa
Tak peduli siapa dia
Karena dia yang membuatmu bahagia

Senja di jalan raya
Senjaku yang kedua

Selasa, 10 Mei 2016

BROKEN (Tentang hati yang patah karena seorang ayah)





Entah aku harus menyebutnya sebagai cobaan atau kutukan. Bagiku, ini adalah sebuah kesialan yang tak kunjung usai. Hidupku tidak selalu baik-baik saja, aku rasa. Selesai masalah ini, timbul lagi masalah yang lain. Semua berputar seperti siklus rantai makanan. Namun tidak berujung menguntungkan. Aku hanya merasa aku memang sial telah dilahirkan ke dunia ini. Penderitaan yang aku alami, rasa sakit yang aku terima, aku tidak tahu harus menyalahkan siapa atas ketidaknormalan yang terjadi. Aku selalu merasa aku tidak seperti yang lain. Mereka selalu tampak senang, mereka selalu terlihat banyak uang. Tapi aku? Aku selalu berusaha menjadi anak baik, aku yang telah bekerja keras demi sesuap nasi, justru berbagai masalah muncul bertubi-tubi. Aku rasa aku memang pantas bila menyebutkan bahwa Tuhan tidak adil kepadaku. Tuhan tidak menyayangiku!

"Elo sekolah gak? Begitu saja tidak becus!"

Tanganku sudah lelah karena sering mengepal namun tidak melayangkan jotosan. Lihat! Siapa yang berbicara seperti itu padaku? Orang yang seharusnya aku banggakan, orang yang seharusnya aku jadikan panutan, kini aku membencinya. Dia tidak sadar, dia benar-benar tidak sadar. Apa dia menyekolahkanku? Apa dia merasa telah mendidikku dengan benar?

Elo-Gue, kalimat panggilan yang sering terlontar dari mulut-mulut anak muda. Tapi dia siapa? Dia bajingan kurang ajar yang telah membuat hidupku berantakan. Aku salah, tidak hanya hidupku, melainkan hidup Ibu dan adikku. Jika bukan karena aku masih memiliki rasa hormat terhadap orang yang lebih tua, aku sudah akan memukul dan mencabik-cabik wajahnya yang tanpa dosa.

"Lain kali, elo lakukan dengan benar! Seperti tidak sekolah saja!"

Aku memang tidak sekolah. Aku hanya sekolah sampai seragam putih biru. Kenapa? Karena dia sendiri yang tidak menyekolahkanku. Orang tua macam apa yang tidak mementingkan pendidikan sekolah anaknya, dan kini malah menghinanya seperti ini? Aku sakit hati! Hatiku sakit! Dia seperti sedang berbicara bukan dengan anaknya sendiri.

Terkadang aku bertanya-tanya. Bagaimana bisa Ibu menikahi pria seperti dia? Pria yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diandalkan. Dia hanya membuat hidup kami susah. Dia bekerja, tapi uangnya ia habiskan untuk kepentingan keluarganya sendiri. Tidak untuk aku, Ibuku, maupun adikku. Beruntung adikku bisa masuk Universitas. Itu berkat keberuntungan dan secuil kasih sayang Tuhan yang dia terima. Dia dapat kuliah karena menerima beasiswa. Dia memilih kuliah di luar kota karena sebuah alasan yang dapat aku terima. Walau aku khawatir, aku terpaksa mengizinkan.

"Aku akan kuliah di luar kota. Kalau aku bekerja setamat sma, uang Bapak mau dikemanakan? Ibu dan Kakak bekerja, Bapak tidak akan memberi uang kepada kalian. Setidaknya kalau aku pergi jauh, aku akan meminta uang bulanan kepada Bapak."

Ayah, rasanya aku tidak pantas memanggilnya Ayah. Aku lebih suka menyebutnya si bajingan pengecut. Dia orang yang menjijikkan. Bagaimana bisa seorang pria hidup seperti pengecut? Dia tidak menafkahi ibuku, dia tidak mencurahkan kasih sayangnya terhadapku juga adikku. Dia tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang pria, suami, dan ayah. Dia makhluk yang memiliki jantung namun tidak memiliki hati.

Dua tahun berlalu, si bajingan itu jarang pulang ke rumah. Dia datang seenak jidatnya. Atau dia datang ketika aku memaksanya pulang untuk memberitahukan bahwa adikku membutuhkan bekal. Bajingan itu kini tinggal bersama ibunya yang telah menjanda. Nenekku itu sama sintingnya dengan suami Ibuku. Seharusnya, bila dia seorang ibu yang baik, dia akan menasehati anaknya saat tidak pulang ke rumah istrinya dalam waktu yang lama. Tapi apa yang nenek tua itu lakukan? Dia justru berbahagia dengan kehadiran anak pertamanya di rumah. Dia sangat senang karena uang anaknya akan mengalir deras ke tangan keriputnya. Nenekku itu, dia termasuk dalam daftar orang-orang yang ingin aku akhiri hidupnya.

"Bapak cerai saja dengan Ibu. Itu akan lebih baik daripada Bapak mengurung Ibu namun tidak memberinya makan!"

Sudah berulang kali aku menyuruh orang tuaku bercerai. Namun mereka tidak mengindahkan. Aku kasihan kepada Ibu. Dia bisa mendapatkan pria yang lebih baik nanti, kalau memang dia tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya seorang diri. Terkadang aku pun kesal kepada beliau. Aku kesal kenapa Ibu tidak pernah mengeluhkan nasibnya. Ibu selalu terlihat baik-baik saja. Bahkan beliau selalu semangat bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Aku sakit saat melihat Ibuku yang tidak mempedulikan penderitaannya. Aku ingin membunuh bajingan itu.

"Sabar, Nak! Nanti Bapakmu akan mendapat balasannya sendiri. Yang terpenting sekarang, kita harus  bekerja dengan baik. Tunjukkan pada Bapak bahwa kita baik-baik saja walau dia tidak mempedulikan kita."

Aku dan Ibu berusaha keras mencari uang. Pendidikan sekolahku rendah, aku hanya bisa bekerja membantu ibu menjahit pakaian di rumah. Andai saja aku memiliki ijazah sekolah yang lebih tinggi, aku pasti akan mendapat pekerjaan yang lebih baik. Aku akan bisa membahagiakan Ibu juga adikku. Sayangnya, aku memang ditakdirkan untuk hidup dalam kesialan. Aku hanya mampu bekerja kecil-kecilan. Dan dengan bodohnya terkadang Bapakku menanyakan penghasilanku.

"Kerjaan elo cuma ngumpulin kain tak berguna ini. Kalau tidak ada duitnya, tidak usah kerja!"

Dia goblok atau apa, aku sudah bingung mencari kalimat yang pas. Jelas uangku habis karena aku pakai untuk biaya makan sehari-hari. Untuk membeli pakaian, untuk memberi perabotan. Memangnya dia memberi kita uang? Terkadang untuk bekal adikku pun aku yang penuhi. Dia tak jarang menyuruhku mentransfer uang untuk adik. Dia bilang, dia akan ganti. Tapi itu semua hanya omong kosong. Dia selalu mempertanyakan uang hasil kerja kami. Tapi kami sendiri tidak tahu ia simpan di mana hasil kerjanya. 

"Selamat ulang tahun, Kak. Semoga pengorbanan Kakak selama ini berbuah baik. Jadikan semua ini sebagai pembelajaran dalam perjalanan menuju kedewasaan. Aku yakin, kebahagiaan sedang menunggu Kakak di depan."

Umurku sudah dewasa. Kadang aku berpikir aku pun ingin seperti teman-temanku yang hidup dengan  memiliki pasangan. Namun aku sadar diri. Pekerjaanku saja belum mapan. Aku juga hidup dalam keluarga yang menyebalkan. Siapa yang ingin menjadikan aku pendamping hidupnya? Jika aku membicarakan hal ini, si bajingan itu sering menceramahiku. Dia bilang, aku harus menabung uangku karena dia tidak akan membiayai pernikahanku nanti. Bagaimana bisa aku menabung jika kebutuhan sehari-hari saja aku yang penuhi? Biaya hidup adikku? Kadang aku yang memikulnya. Kalau seperti ini terus, aku yakin aku tidak akan pernah menikah.

Menikah? Aku merasa itu hanya akan menjadi angan-anganku saja. Hey, bahkan aku tidak berani membayangkan bagaimana meriahnya pesta pernikahanku. Ada yang ridho menjadi suamiku kelak, aku sudah sangat bersyukur. Jujur, sebagai seorang anak perempuan, aku ingin merasakan kasih sayang seorang laki-laki. Aku ingin perhatiannya, pengertiannya, nasihatnya. Ya, aku menginginkan hal kecil itu dari ayahku. Bukankah seorang anak perempuan biasanya akan lebih dekat dengan seorang ayah? Mungkin untuk oranglain benar, tapi bagiku tidak berlaku. Bahkan aku tidak ingat kasih sayang Bapak yang mana yang pernah dia berikan untukku. Justru saat ini aku merasa takut. Takut jika aku menikah, aku mendapat suami seperti Bapak. Tidak, Tuhan! Aku akan membunuh diriku sendiri bila itu terjadi.

Aku sangat menyayangi adikku. Dia saudaraku satu-satunya. Aku selalu takut terjadi apa-apa padanya. Meski dia telah beranjak dewasa, bagiku dia tetap adik kecilku yang manja. Dulu, saat dia belum mengerti kepahitan yang aku rasakan, aku sering kesal. Aku seperti tidak memiliki lelaki yang dapat aku banggakan dalam hidupku. Namun perlahan, adikku mulai paham. Ya, dia tahu, dia melihat, kami memiliki seorang ayah yang berbeda dari yang lain. Tapi, adikku tidak sepertiku. Aku selalu nyolot, aku selalu emosi, aku selalu ingin memarahi Bapak. Adikku yang aku kira masih bocah ingusan, ternyata dia yang mengajariku arti kesabaran. Tak segan dia menasehati dan mengingatkanku. Sejahat apa pun Bapak, dia tetap ayah kami. 

Terkadang, aku merasa sudah sangat lelah. Aku ingin mati saja. Aku merasa tidak ada gunanya pula aku hidup. Semua yang aku lakukan seolah percuma. Semua sia-sia saja. Aku merasa telah gagal menjadi seorang anak. Rasanya serba salah. Aku terus hidup pun, hanya akan bertambah dosa. Aku sering mengutuk Bapak, itu sudah menjadi dosa besar. Namun aku sebal. Dia tidak memiliki kesadaran sendiri. Astaga! Aku sungguh tidak percaya hidupku sekonyol ini. Sering aku berpikir bahwa aku memang sial telah menjadi bagian dari keluarga ini. Andai aku dapat memilih, aku tidak menginginkan berada di sini. Di tengah orang-orang tidak waras ini. Aku hanya ingin keluarga yang normal. Aku menginginkan kehidupan normal seperti orang-orang. Hanya itu!

Pernah, aku mendapat kabar bahwa adikku kecelakaan. Aku segera menghubungi nomor Bapak untuk memberitahu, namun tidak aktif. Aku mencoba mencari kontak nomor saudara di sana namun tidak diangkat. Aku mencoba menghubungi nomor yang lain, ada yang menjawab. Namun sial, teleponnya kembali dia matikan. Keluarga Bapakku memang tidak waras semua. Mereka tidak mau tahu keadaan kami. Ini hal penting, dan mereka bersikap kurang ajar kepadaku. Bagaimana kalau kecelakaan parah yang menimpa adikku? Baru jatuh dari motor saja mereka tidak peduli. Bagaimana kalau adikku mati? Mereka mungkin akan berpesta ria.

"Keluarga Bapakmu memang tidak waras!" 
Aku kembali menelpon adikku. Aku menangis menceritakan kejadian menjengkelkan ini. 

"Sudah, Kak! Yang penting Kakak sudah berusaha. Biarkan saja mereka. Mungkin mereka pikir aku menelepon karena ingin meminta uang."

Keluarga Bapakku memang tidak suka jika aku atau adikku menghubungi Bapak. Mereka tidak suka dengan kami yang meminta uang kepada Bapak. Kalau bukan kepada Bapak, kepada siapa lagi kita meminta? Dia berhak memberi kami uang. Itu adalah kewajiban. Tapi mereka tidak memahami. Mereka hanya tahu dan sering mengira bahwa adikku di luar kota sana hanya menghambur-hamburkan uang. Itu juga alasan kenapa dulu aku tidak melanjutkan sekolah.

Setelah kabar kecelakaan adikku, kini giliran Ibu yang jatuh sakit. Tidak tanggung-tanggung, aku pun ikut meriang dan demam. Kami berdua sakit. Kami bahkan tidak sanggup bekerja. Kami pun belum memeriksakan diri ke dokter karena tidak ada biaya. Aku terpekur menangisi kehidupanku. Orang yang menyakitiku bukanlah oranglain, melainkan keluargaku sendiri. Hingga seminggu lamanya aku dan ibu sakit, Bapak tidak pulang sama sekali. Dia tidak bertanya keadaan kami, dia tidak punya hati. Bahkan mungkin dia telah lupa bahwa dia masih memiliki anak dan istri.

"Kakak telepon Bapak saja! Bilang minta uang untuk pergi ke dokter."

"Bapak tidak akan peduli."

Bahkan air mataku sudah mengering. Aku tidak dapat mengungkapkan lagi bagaimana rasanya semua ini. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa atas hidupku. Hatiku lebih dari sekedar patah. Mengingat hidupku yang berliku tidak menentu, aku hanya bisa menangis dalam diamku. Aku tidak tega melihat Ibu. Aku tidak sanggup membiayai pendidikan adikku, bahkan aku tidak dapat menyadarkan Bapakku. Dia sudah keterlaluan. Dia menyiksaku!

Rasa sakit yang aku alami bukan karena penyakit yang sedang menyerang tubuhku. Melainkan karena rasa peduli yang tidak aku terima dari seorang ayah yang membuatku terlahir ke dunia ini. Apa dia tidak takut aku membencinya? Aku rasa tidak. Bahkan dia tidak takut kepada dosa-dosa yang telah dia lakukan. Dia tidak takut kepada Tuhan yang menciptakannya. Aku hanya akan berdoa, semoga bumi menerima jasadnya kelak saat dia terkubur di tanah bumi.

Bapak, dibalik kebencianku, sejujurnya aku mencintaimu. Andai Bapak tidak mematahkan hatiku, mungkin aku tidak akan berpikir bahwa aku tidak menyukaimu.